Bagaimana perbandingan film iklan di luar negeri dan di Indonesia
Bagaimana melihat perbandingan shooting film iklan di luar negeri dan di sini ? Cara kerja dan jumlah crew yang terlibat sangat signifikan sekali perbedaannya. Kalau mau sharing pengalaman shooting di luar negeri, bisa bisa kita geleng geleng kepala sendiri melihat efesiensi jumlah crew dan bagaimana mereka bekerja. Ada beberapa hal yang bisa menjadi bahan masukan bagi kita pekerja film iklan.
SET KONSTRUKSI
hampir tidak pernah melihat tukang atau crew set builder membangun set atau bekerja dalam studio. Tidak ada yang menggergaji kayu, memaku, mengebor, mengecat dsb. Mereka sudah membuatnya di luar dan tinggal membawa ke studio dengan system knock down. Sehingga studio sangat rapi, tidak ada kaleng kaleng cat berceceran di pojok studio. Sim Salabim, jadilah sebuah set dapur. Tidak ada tukang tukang yang tidak ganti kaos selama 3 hari hilir mudik membawa palu atau gergaji.
JUMLAH CREW
Tidak seperti di Indonesia, jumlah crew bisa mencapai 75 – 100 orang di lokasi. Di luar negeri sangat selektif , bahkan ada yang cuma satu orang buat lighting dept, kecuali shootnya memang massive hingga membutuhkan banyak orang, demikian juga gripnya. Ada pengawal peralatan yang membawa masuk lampu, tapi begitu selesai mereka merapikan kabel atau kembali ke truk, tidak bergerombol ngeriung di pojok studio sambil minum kopi dan makan camilan gorengan. Mengapa bisa demikian ? kuncinya beberapa hari sebelum syuting DOP, Director ,camera dept , lighting dan grip sudah meeting preproduction. Sudah floor plan dengan gambar situasi, sehingga DOP sudah memberitahu di titik ini akan diletakan lampu 6 K, disini camera, crane disana dengan gerakan begini. Sehingga pagi pagi DOP datang ke lokasi , semua lampu dan peralatan sudah berada di titik titik yang dia mau. Dengan demikian meminimalkan jumah pergerakan di lokasi. Sebagai contoh di Departemen Kamera di negeri kita ada Camera Assistant, Loader, dan satu lagi pengawal kamera. Sementara sewaktu masih menjadi produser tahun 1998, shooting di lokasi pegunungan Salju di Canada bersama Gary Hayes. Saya melihat hanya ada satu orang camera, merangkap semuanya. Juga tidak menjadi masalah bagi DOP untuk ikut mengganti magazine kamera. Dalam shooting di Canada tersebut, bersama director total jumlah crew tidak lebih dari 12 orang ( Producer, Production Assistant ada dua orang, DOP, Camera Ass, Gaffer, Grip, Art Dir, Prop master, Make up, dan satu orang effect ). Malah,rombongan klien dari Jakarta bisa berjumlah separuhnya. Tidak ada PU, karena producer, production assistant yang membuatkan kopi, tea dsb. Tidak ada wardrobe ( memang karena settingnya tidak memerlukan seorang wardrobe stylish ) karena production assistant bisa menjadi penata busana untuk kebutuhan shooting ini. Talent juga diurus oleh Production assistant. Sementara producer disana merangkap menjadi assistant sutradara.
EFISIEN
Dalam sebuah shooting di Hongkong, terlihat seorang Line producer bisa memerintahkan kepada crew lighting yang terlihat saat itu tidak bekerja. Pertama dia akan bertanya, apa yang kamu kerjakan sekarang ? Jika tidak ada, maka ia akan meminta orang yang bersangkutan untuk membawa dorongan gantungan baju baju wardrobe. Karena wardrobe stylishnya sedang sedang sibuk menyiapkan talentnya, dan tidak ada assistant wardrobe stylish saat itu. Demikian pula pengaturan flow peralatan dan pergerakan manusia, sangat efisien. Melihat studio shooting di Jakarta seperti isi sebuah bengkel mobil berantakan dan sangat jorok.
PROFESSIONALISME
Dalam shooting di Bangkok, ketika masuk kedalam tahap pouring elemen atau effect shoot. Hanya satu orang yang bertanggung jawab dan melakukan hal itu ( mungkin bagian dari art department ). Tidak ada yang bergantian mencoba berbaik hati melakukan. Bandingkan di Jakarta, ketika semua orang mencoba bereksperimen dalam shooting. Art director, DOP, Sutradara, gaffer, bahkan producer ikut ikutan mencoba melakukan effect tsb. Sementara tingkah laku selama di studio juga mencerminkan attitude profesi yang ‘ correct ‘. Tak ada celetukan, atau godaan berbau ‘ sexual harrasment ‘ terhadap talent wanita. Masing masing tahu apa yang dilakukan, peralatan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Telpon genggam dimatikan atau di silent mode selama proses syuting, jadi kita tidak melihat crew menerima telpon selama proses produksi. Yang jelas sebelum syuting masing masing departemen sudah melakukan cek terhadap semua peralatan. Hampir mustahil di lokasi shooting, ada masalah kabel video assist yang rusak, atau bahkan seperti kejadian yang menimpa produksi saya. Shooting di lereng gunung Merapi, tetapi tidak membawa Mate box camera yang tertinggal di Jakarta.
JAM KERJA
Yang jelas jam kerja shooting di luar negeri hampir menyerupai jam kerja pekerja kantor atau profesi lainnya. Jam 6 di lokasi dan Jam 7 malam sudah selesai, serta dilanjutkan esok hari lagi. Ketika shooting di Australiapun, seorang gaffer yang memakai kemeja denim ( necis ), bisa membuat janji makan malam dengan anak istrinya. Karena ia tahu bahwa shootingnya akan ‘ pasti ‘ selesai jam 7 malam. Tidak seperti disini yang bekerja 24 jam atau bahkan saya pernah bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 3 siang hari berikutnya. Penting disini bagi Unit Manager untuk memastikan mendapat crew yang fresh, sehingga tidak merugikan produksi berikutnya. Yang terjadi karena sistem KKN antara unit dengan crew, sehingga si unit pun tetap memanggil crew tersebut walau ia tahu crew tersebut ada kemungkinan lembur sampai jam 4 pagi.
MAKAN MINUMAN
Tidak pernah ada makanan, minuman hilir mudik diseluruh penjuru studio atau lokasi. Saya tidak pernah melihat ada PU yang membawa gorengan dan teh berkeliling seperti di Jakarta. Sehingga seorang crew yang sedang membawa lampu bisa sekaligus mencomot tempe goreng dari baki yang dibawa PU. Merokok disekitar kamera(studio ) juga terlarang. Disini DOP atau director bisa minum kopi hanya 10 cm dari kamera. Hanya ada di Jakarta ketika gelas teh atau kopi bisa diletakan di antara celah celah dolly phanter, atau sebungkus rokok terlihat menyelip dibawah body camera. Di Bangkok, ada seorang petugas konsumsi bisa melarang DOP untuk mengambil jenis makanan yang berminyak. Tegas. Masuk akal karena dengan tangan berminyak sangat riskan bagi dia untuk berurusan dengan kamera. Semua Makanan dan Minuman ditaruh disebuah pojok atau ruangan tersendiri, yang ingin makan datang ke ruangan / tempat itu. Mereka buat kopi sendiri disana.
Semua bahan perbandingan ini sekiranya bisa menjadi acuan bekerja dan bersikap lebih professional serta menghargai profesi kita. Termasuk disini bagaimana cara berpakaian selama shooting. Masih banyak pekerja film yang bekerja dengan kaos yang sudah berhari hari tidak diganti dan memakai sandal. Gaffer semestinya juga memakai sarung tangan selama bekerja. Dengan jumlah crew yang bisa mencapai 75 orang setiap produksi, tentu sangat memberatkan. Mungkin jika bisa dikurangi separuhnya saja, bisa membantu alokasi budget yang tadinya dipaksa shooting sehari , kini menjadi dua hari. Terus terang bagaimana bersikap professional masih menjadi hambatan bagi pekerja film, sehingga APFII juga menjadi serba salah jika harus menerapkan standar kerja. Misalnya dengan jam kerja hanya 14 jam, kontrak kerja dsb. Tentu akan menjadi bumerang ketika para PH mempertanyakan profesionalisme kita dengan pola kerja seperti contoh diatas, belum lagi issue issue korupsi dalam produksi. Sampai kapan ini terus berlangsung ?
Sumber : http://www.apfii.com/